Bagaimana hukum demonstrasi dan mogok kerja?
Seringnya kita melihat berbagai demo yang terjadi di kalangan buruh. Ada yang menuntut kenaikan gaji, ada yang menuntut perbaikan keadaan mereka dan seterusnya. Demonstrasi dianggap sebagai satu-satunya cara, padahal masih banyak cara lain yang lebih bijak dan tidak membawa kerusakan. Demo yang kebanyakan terjadi tidak jauh dari dampak kerusakan dan kerusuhan. Namun masih saja terus berlangsung. Coba jika setiap buruh bersikap bijak dan mau menimbang mafsadat dan manfaat. Satu cara lagi yang dilakukan adalah mogok kerja. Bagaimana pandangan Islam akan hal ini?
Dalam situs Al Islam Sual wal Jawab yang diasuh oleh Syaikh Sholeh Al Munajjid hafizhohullah, ada pertanyaan yang diajukan,
“Apa hukum demonstrasi untuk mengajukan beberapa tuntutan bagi buruh (pekerja) dan untuk memperbaiki beberapa kondisi?”
Jawab:
Demo pengajuan tuntutan adalah suatu pelanggaran terhadap kontrak kerja antara buruh dilihat dari satu sisi dan pimpinan dari sisi lain. Allah Ta’ala dalam Al Qur’an telah menyeru pada kita untuk menunaikan perjanjian dan konsekuen dengannya karena perjanjian tersebut sudah disepakati bersama dengan yang lain. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (QS. Al Maidah: 1).
Yang melakukan mogok kerja kadang membuat kerusakan, kerusuhan dan menampakkan tindak kekerasan. Hal ini tentu tidak diridhoi oleh syari’at yang dibangun di atas kaedah,
درء المفاسد أولى من جلب المنافع
“Menghindari kerusakan lebih utama daripada mengambil manfaat”.
Sebenarnya ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengajukan tuntutan yang mungkin lebih efektif daripada melakukan pemogokan. Orang yang bijak tentu tidak meninggalkan jalan syari’at dengan menghalalkan berbagai macam cara untuk mencapai tujuan.
Adapun mogok kerja yang dilakukan sebab tidak mendapatkan upah atau gaji, maka itu boleh. Karena penanggung jawab kontrak (pimpinan) telah melanggar perjanjian. Para buruh boleh saja mogok kerja hingga gajinya tertunaikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
“Berikanlah upah kepada pekerja sebelum keringatnya kering” (HR. Ibnu Majah no. 2443, shahih).
[Rujukan: Masail wa Rosail, Muhammad Al Mahmud An Najdi, hal. 48. Dinukil dari Fatwa Al Islam Sual wal Jawab, no. 5230]***
Dalam masalah demonstarasi jelas sekali mafsadat atau kerusakan yang ditimbulkan. Adapun mogok kerja, maka perlu dirinci lebih jauh. Jika mogok kerja tersebut untuk menuntut gaji yang tidak dibayarkan, maka itu boleh. Namun dengan catatan pula bahwa mogok kerja tersebut tidak membawa dampak buruk bagi orang banyak. Karena sekali lagi kaedah yang mesti kita perhatikan, “Menghindari kerusakan lebih utama daripada mengambil manfaat”. Yang lebih masalah lagi jika mogok kerja merugikan banyak orang seperti mogok kerja yang dilakukan dalam pelayanan fasilitas umum yang dibutuhkan masyarakat luas, semisal pada bandara, bis kota, dan semacamnya. Coba bayangkan apa yang terjadi jika semua sopir bis kota dan pilot itu mogok, pasti akan merugikan orang banyak. Inilah yang menjadi masalah.
Sebenarnya masih ada cara lain yang bisa ditempuh. Apalagi yang dituntut terkadang adalah kenaikan gaji, bukan karena tidak digaji. Masih ada cara bijak yang bisa dilakukan, seperti bicara baik-baik kepada atasan dan seterusnya. Yang pertama, sikap utama bagi kita adalah bersabar dalam menghadapi polemik-polemik semacam ini. Inilah wasiat dari Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ ، إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa melihat sesuatu pada pemimpinnya sesuatu yang tidak ia sukai, maka bersabarlah. Karena barangsiapa yang melepaskan diri satu jengkal saja dari jama’ah, maka ia mati seperti matinya jahiliyah (artinya: ia mati dalam keadaan jelek dan bukan mati kafir, pen)” (HR. Bukhari no. 7054 dan Muslim no. 1849). Hadits ini mencakup setiap pemimpin yang punya kuasa dan menunjukkan tetap kita wajib taat dan bersabar dalam menghadapi kezholiman mereka. Dan balasan ketika bersabar pun luar biasa,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga)” (QS. Az Zumar: 10). Masa’ pahala yang besar seperti ini mau disia-siakan dengan marah, emosi, apalagi sampai menjelek-jelekkan pimpinan sendiri?
Dan jika ingin menasehati pemimpin, maka lakukanlah empat mata. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِسُلْطَانٍ بِأَمْرٍ فَلاَ يُبْدِ لَهُ عَلاَنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوَ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ لَهُ
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati)” (HR. Ahmad 3: 403, hasan lighoirihi).
Walaupun sebagian orang menganggap aneh sikap semacam ini, padahal inilah ajaran yang dinasehatkan Rasul kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga kita semakin teguh dengan berpegang pada sunnah Rasul di saat kesendirian dan keterasingan.
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam awalnya asing dan akan kembali asing sebagaimana awalnya. Beruntunglah orang-orang yang asing” (HR. Muslim no. 145). Yang dimaksud “thuba” dalam hadits ini adalah kebaikan dan karomah sebagaimana kata Ibrahim An Nakhoi. Ibnu ‘Ajlan mengatakan maksud “thuba” adalah kebaikan yang terus menerus. Ada pula ulama yang mengatakan maksud “thuba” adalah jannah (surga). Ada yang mengatakan “thuba” adalah pohon di surga. Qotadah mengatakan bahwa maknanya adalah semoga mereka mendapatkan kebaikan. Adh Dhohak mengatakan bahwa merekalah orang yang pantas kita berlomba dengannya dalam kebaikan (alias: ghibtoh) (Syarh Shahih Muslim, 2: 176). Intinya, hadits ini menunjukkan keutamaan orang yang terasing atau bersendirian ketika berpegang teguh dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Semoga Allah beri hidayah demi hidayah.
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 22 Jumadal Ula 1433 H
Artikel asli: https://rumaysho.com/2379-menyoal-demo-dan-mogok-kerja.html